Itulah bait pertama yang kau tulis dengan tinta yang
ragu-ragu keluar dari penanya, ketika perlahan-lahan kotaku terendam
lumpur. Begitupun aku menyambut gembira, atas suratmu yang kau kirim
melalui denyut hati, karena kau tahu arti penderitaan kami.
Aku mengerti perasaanmu. Begitu bernafsukah kau ingin datang ke
kotaku? Begitulah yang aku rasakan dalam setiap detak nadimu. Tetapi aku
tahu, kau hanya ingin mengembara lepas dalam batin kami yang menderita.
Aku pun tak berharap kau datang ke kotaku. Cukuplah kau saksikan
dengan mata hatimu, aku sudah gembira. Aku gembira membaca bait-bait
resahmu, yang kau tuliskan dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari
penanya.
Tetapi tak apalah. Kau salah satu yang
aku kagumi. Penderitaan memang tak perlu dibaitkan dalam kata-kata
terang. Karena kata-kata terang sering menjadi pelipur lara belaka. Dan
kau tahu, kotaku perlahan-lahan tenggelam tidak hanya dalam lumpur
tetapi dalam timbunan retorika.
Ketahuilah, kami yang kini tinggal di kota lumpur, telah banyak
mereka-reka dan mengais-ngais kata-kata terang tetapi gelap maknanya.
Aku tahu, kau menuliskan dengan bahasa bersayap, tetapi aku merasakan
irisan-irisan makna yang kau hujamkan ke ulu hati.
Karena itu, aku tak ingin kau datang ke kotaku. Mata hatimu mungkin
akan lebih tajam melihat derita kami, daripada kau ingin bermetamorfosis
menjadi guru bahasa, guru pengocok moral atau menjadi pengabar yang sok
pintar.
”Tidak! Aku cukup lega membaca isi hatimu!”
Bertapalah di gunung batinmu. Jangan datang ke kotaku. Kotaku, kini
hilang. Kini yang tertinggal hanya kenangan dan harapan-harapan. Tak ada
yang tersisa, selain kata sesal. Dan sepucuk atap rumah yang gentingnya
menyumbul di antara hamparan lumpur kering dan pucuk-pucuk pohon yang
meranggas. Tak ada yang tersisa.
”Kini semuanya telah ditelan waktu. Kotaku hilang tak terkenang!”
Tapi kalau kau ingin datang ke kotaku, gantilah hatimu dengan batu.
Kantongilah sekarung nyawa. Ke kotaku kini hanya ada satu jalan, jalan
maut!
Di jalan itu akan kau jumpai monster-monster kecil penghisap darah.
Di jalan kau akan jumpai pohon-pohon hidup, yang bisa menjerat lehermu
hingga putus. Jebakan demi jebakan harus kau waspadai. Orang-orang yang
berniat baik bisa berbalik menjadi perampok yang ganas. Di setiap
tikungan, kau harus waspada, karena di situ banyak pengemis bersenjata
tajam akan menghunuskan arit ke lehermu bila kau tidak memberi uang
barang satu perak pun.
Bila kau lolos di jalan maut, kau tak perlu bergembira. Karena
setelah itu kau akan menemukan jalan yang bercabang-cabang, mirip
labirin. Kau harus pandai memilih jalan yang tepat. Bila salah pilih,
jangan harap kau bisa kembali menjadi manusia. Kau pasti akan menjadi
lintah, atau semacam belut yang hidup di rawa-rawa, yang kini dikuasai
oleh monster-monster berwarna-warni.
”Kau tahu, jalan yang bercabang-cabang itu sebenarnya tak akan sampai ke kotaku!”
Karena itu, ketika kau memutuskan untuk datang ke kotaku, siapkan
dirimu menjadi pahlawan kesiangan atau kalau mau hidup jadilah monster.
Kotaku, seperti yang kau tulis, ”Maka lumpur pun datang, dan penduduk
kota hilang,” tidaklah salah.
Untuk mencari rumahku, kau harus menjadi superhero yang gagah berani.
Kau harus menjadi manusia tak terkalahkan. Kau harus menjadi seperti
Gatutkaca atau Antareja yang mampu terbang dan menembus perut bumi.
Tetapi kau bisa juga menjadi Sangkuni yang pandai bersilat lidah dan
tipu muslihat.
Atau kau bisa menjadi badut. Kau akan mudah masuk dengan gaya
leluconmu. Kau akan dikerumuni anak-anak kecil yang haus hiburan. Mereka
anak-anak yang tak lagi mengenal masa depannya. Hanya dengan leluconlah
kau bakal hidup panjang.
Meski begitu, kau jangan berharap telah sampai ke kotaku. Mungkin kau
masih menempuh separuh jalan. Atau barangkali kau masih jalan di
tempat. Tak ada yang tahu berapa jauh jalan yang harus ditempuh hingga
sampai ke kotaku.
Tak ada yang tahu. Kotaku telah hilang dalam peta. Barangkali, kotaku
telah berada dalam perut paus atau terkubur dalam perut bumi, atau
masih dalam genggaman monster warna-warni, juga tak ada yang tahu.
Bagi kami, jalan kota kami telah tertutup rapat dari dunia. Tak ada
jalan lain, selain jalan ke langit. Tak ada kata-kata, selain doa. Tak
ada harapan, selain harapan untuk mati.
”Apakah kau siap, kawan?!”
Memasuki kota kami, melalui jalan labirin itu, tajamkan mata dan
hati. Bersiaplah kau menerima jebakan-jebakan yang lebih maut dari jalan
maut. Jangan asal melangkah, karena di setiap jengkal, arti langkahmu
sangat menentukan nasibmu. Dan kau tahu, orang-orang di kotaku telah
banyak yang menjadi lintah, belut, dan bahkan ubur-ubur, karena salah
melangkah. Atau memang mereka ingin menjadi monster jalan labirin
daripada hidup dalam kubangan lumpur.
”Aku menyesal sebenarnya, tak bisa menuliskan kabar ini secara benar!”
Tak ada kebenaran di kota kami. Kebenaran telah dirampok. Kebenaran
menjadi bahasa yang berbelit-belit dan sulit dipahami maknanya.
Kebenaran dan kepalsuan menjadi tipis jaraknya. Dan kau tahu, banyak di
antara kami yang silau oleh kepalsuan yang berlapis kebenaran.
Kami tidak salah. Kami dijebak oleh monster-monster penguasa
jalan-jalan labirin. Meski demikian, banyak yang memilih menjadi dan
hidup dalam lumpur daripada menjadi lintah atau menjadi budak para
monster.
Dan kau tahu, dalam bait suratmu yang kau suarakan melalui hatimu,
kau tulis dengan gamblang: ”Semula ada yang mengira mereka memilih jadi
ikan, memasang semacam insang di leher dan sejak itu menjadi bisu….”
Pada mulanya memang itulah yang kami tempuh. Kami diam dan pasrah
ketika air bercampur lumpur perlahan-lahan menggenangi kota. Ketika air
meninggi dan lumpur semakin mengendap, kami harus mengambil pilihan.
Bertahan hidup menjadi ikan atau menjadi monster di daratan?
Kamu tahu, kami banyak yang memilih menjadi ikan meski air begitu
keruh. Tapi setidaknya aku dan orang-orang di kota masih bisa bernapas
sambil mengikuti arus, ke mana mengalir. Tetapi tidak tahulah, lama-lama
arus air dan lumpur begitu deras dan pekat. Kami yang dulunya bisa
bernapas, tiba-tiba terasa sesak. Dan tiba-tiba kami seperti hidup dalam
pekat gelap.
Dalam gelap pekat itu muncul sekelompok ikan dengan gigi dan sisik
tajam, yang dipimpin ikan berkepala besar berbelalai banyak. Ikan yang
kami sebut sebagai gurita itu, belalainya begitu terampil menangkapi
ikan-ikan kecil untuk dijadikan makanannya.
Kau harus tahu, gurita itu begitu cengeng. Setiap kali ia ingin
menghisap darah kami, ia merajuk pada ibunya. Dan ibunya selalu muncul
dalam bayang-bayang masa lalunya yang kelam, berkata, ”Hisaplah nak,
demi hidupmu?”
Kamu tahu, kau tulis dalam degup jantungmu yang paling keras, ”Lalu
sejak itu muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang recehan
yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.”
Apakah kau masih ingin ke kotaku? Lewat suara hatiku ini, kusarankan,
lebih baik urungkan saja niatmu. Meski kotaku kini telah berdiri papan
nama bertuliskan: ”Wisata Kota Lumpur”, lebih baik kau jangan percaya
dengan bahasa terang itu. Itu bahasa jebakan untuk mengais simpati. Bila
kau tak tahu, kau akan jadi ikan-ikan dalam kekuasaan ikan berkepala
besar berbelalai banyak.
Kalaupun kini banyak orang melihat dan mencari-cari sisa kota kami,
mereka tidak tahu, kota kami telah digondol ikan berkepala besar
berbelalai banyak, menghilang dalam lautan lepas.
Kau tahu, mereka yang mencari sisa-sisa kota kami berdiri di atas
bukit yang membentang sampai cakrawala, seperti benteng, yang
membentengi lautan lumpur. Orang-orang itu mencoba mencari kegembiraan
kecil, atau mencoba menyelami penderitaan kami. Tak ada yang tahu. Kami
benar-benar jauh dalam genggaman ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Dan kau sangat tahu, dalam teriakan bahasa hatimu yang aku tangkap
samar-samar, kau menulis: ”Ada kapal-kapal tanker besar menanti. Para
nakhodanya bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian dari
tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian lagi terus-menerus menekan
angka-angka di mesin hitung dan pencatat waktu. Para kelasinya tak
pernah menginjak bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam….”
Kini apakah pantas kotaku, rumahku, namaku, kau cari-cari dalam
timbunan lumpur yang semakin menggunung itu? Apalah arti kotaku, apalah
arti rumahku, apalah arti namaku, sedangkan Marsinah saja telah menjadi
purba! Tugu kuning tempat Marsinah diculik juga telah musnah. Sia-sia!
”Amnesia! Udara pengap kota kami menjadi virus lupa ingatan!”
Tak perlulah kau ingat. Tak perlulah kau kenang. Tunggulah, pada
suatu saat nanti kotaku akan kau temukan dalam pesta pora para monster
menyambut kemenangan dewa ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Dalam mesin hitung, kami telah dipurbakan. Kami diendapkan dalam
waktu dan pada suatu saatnya nanti, kota kami digali dari kuburnya.
Nama-nama kami dicatat, bendera-bendera berkibaran dalam pesta dewa ikan
berkepala besar berbelalai banyak. Kota baruku akan ditemukan dengan
nama yang ditulis dengan huruf Palawa: Kahuripan.
”Apakah kau tahu arti Kahuripan?”
Sebenarnya kotaku tak bisa dimatikan, karena sikap teguh kami untuk
tidak kompromi. Kotaku tak bisa dihilangkan begitu saja. Ia akan lahir
kembali dalam kenangan yang mengekal dan banal.
Pesanku, kalaupun pada suatu saat nanti kotaku tak ditemukan, maka
kenanglah kotaku seperti dalam suara keras hatimu di bait terakhir:
”Dulu di sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya”.
Itulah semulia-mulianya kenangan.
Sidoarjo, 2011
Catatan:
1. Cerita ini terinspirasi dari puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.
2. Semua kutipan berasal dari bait puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.
1. Cerita ini terinspirasi dari puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.
2. Semua kutipan berasal dari bait puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.
Ditulis oleh tukang kliping
Tidak ada komentar:
Posting Komentar