Ia tiba-tiba muncul di muka pintu. Tubuhnya kurus, di
sampingnya berdiri anak remaja. Katanya itu anaknya yang bungsu.
Kupersilakan duduk sambil bertanya-tanya dalam hati, siapa mereka
berdua?
“Kita teman bermain waktu kecil. Di bawah pohon bambu. Tidak jauh
dari tepi Danau Toba,” katanya memperkenalkan diri. Wau, kataku dalam
hati. Itu enam puluh tahun yang lalu. Ketika itu masih anak kecil, usia
empat tahun barangkali. “Ketika sekolah SD kau pernah pulang ke kampung
dan kita bersama-sama satu kelas pula,” katanya melanjutkan. Aku
tersenyum sambil mengangguk-angguk. Belum juga dapat kutebak siapa
mereka. Ia seakan-akan mengetahui siapa mereka sesungguhnya. “Wajahmu
masih seperti dulu,” katanya melanjutkan. “Tidakkah engkau peduli
kampung halaman?” tanyanya. “Tidakkah engkau peduli kampung halamanmu?”
tanyanya membuat aku agak risih. Dulu pernah keinginan timbul di hati
untuk membangun kembali rumah di atas tanah adat yang tidak pernah
dijual. Pelahan-lahan timbul ingatan di dalam benakku.
“Rumah kita dahulu berhadap-hadapan, ya?” kataku. Ia mengangguk. “Kalau begitu, kau si Tunggul?”
“Ya,” jawabnya dengan wajah yang mulai cerah.
Lalu ia mengatakan perlunya tanah leluhur dipertahankan. “Jangan
biarkan orang lain menduduki tanahmu. Suatu saat nanti, keturunanmu akan
bertanya-tanya tentang negeri leluhur mereka,” katanya dengan penuh
keyakinan. “Kita sudah sama tua. Mungkin tidak lama lagi kita akan
berlalu. Kalau kau perlu bantuan, aku akan menolongmu.”
“Akan kupikirkan,” kataku. “Nanti kubicarakan dengan adik dan kakak,” jawabku.
Pertemuan singkat itu berlalu dalam tahun. Pembicaraan sesama
kakak-beradik tidak tiba pada kesimpulan. Masing-masing sibuk dengan
urusan sendiri. Dan ketika aku berkunjung ke kampung halaman, kutemukan
dia dengan beberapa kerabat dekat lainnya. Kudapati ia terbaring di
tempat tidur, di ruangan sempit dua kali dua meter. Beberapa slang
oksigen di hidungnya. Ia bernapas dengan bantuan oksigen. Matanya
berkaca-kaca sambil mulutnya berkata, “Kudengar kau datang. Beginilah
keadaanku. Sudah berbulan-bulan.” Agak sulit baginya berbicara. Dadanya
tampak sesak bernapas. Aku tidak mungkin berbicara mengenai tanah itu.
Kuserahkan persoalannya kepada keluarga dekat.
Dalam kesibukan, waktu jua yang memberi kabar. Seorang kerabat dekat,
waktu berjumpa di Jakarta, berbisik padaku, “Tunggul sudah tiada, pada
usia yang ke-67.”
“Oh, Tuhan,” kataku kepada diriku sendiri. Kami lahir dalam tahun
yang sama. Sebelum segala sesuatu rencana terwujud, usia telah ditelan
waktu! Giliranku? bisikku pada diriku.
***
Rendi selalu datang dalam mimpi. Diam-diam, lalu menghilang. Dahulu
ia teman sekantor. Tetapi, karena mungkin ingin memperbaiki nasib, ia
mengirim istrinya ke Amerika, justru ingin mengadu nasib. Ia menyusul
kemudian, dengan meninggalkan pekerjaan tanpa pemberitahuan. Lewat Bali,
Hawaii, ia sampai ke California. Di negeri penuh harapan ini ia memulai
kariernya yang baru, bangun subuh dan mengidari bagian kota,
melempar-lemparkan koran ke rumah-rumah. Entah apalagi yang
dilakukannya, demi kehidupan yang tidak mengenal belas kasihan.
Setahun berada di sana, ia kehilangan istrinya, derita yang membawa
duka karena kanker payudara. Sepi merundung hidupnya, di tengah
keramaian kota dan keheningan pagi dan senja, membuatnya resah.
Barangkali hidup tidak mengenal kompromi. Kerja apa pun harus dilakukan
dengan patuh. Tetapi usia yang di atas enam puluhan itu cukup melelahkan
untuk bertahan hidup. Tiada kawan untuk membantu. Semua bertahan hidup
harus berkejaran dengan waktu. Dari agen koran subuh, sampai rumah jompo
dari siang sampai senja, lalu pulang ke apartemen, merebahkan diri
seorang diri, sampai waktu mengantar subuh dan mengulangi ritual siklus
kehidupan.
Dari kesunyian hati itu, ia cuti ke tanah air, untuk mencari teman hidup pada usia senja.
Tetapi, dalam kesunyian di tanah air, ia mengembara seorang diri,
dengan bus dan kereta api. Seperti seorang turis, suatu senja, entah
serangan apa yang mendera dadanya, barangkali asmanya kumat. Ia terkulai
di ruang hajat. Di sebuah stasiun kereta, petugas mencoba membuka kamar
toilet. Menemukan kawan itu dalam keadaan tidak bernyawa. Identitas
diketahui dengan alamat di Los Angeles. Petugas stasiun menghubungi nama
yang tertera di Los Angeles. Dari Los Angeles datang telepon ke alamat
di Bandung. Dari Bandung berita disampaikan kepada anaknya, tetapi
kebetulan sedang ke Paris. Jenazah dibawa ke rumah anaknya, dan
dimakamkan kerabat dekat yang ada di kota “Y”.
Tragis, pada usia ke-64 itu, ia mengembara jauh merajut hidup, tapi
ia berhenti dalam kesepian, jauh dari kenalan dan kerabat. Beberapa
kenalan saja yang menghantarnya ke tempat istirah.
Terlalu sering ia datang di dalam mimpi yang membuatku galau.
***
Beberapa waktu kemudian, aku mendapat SMS. Aku berhenti di pinggir jalan ramai dan mencoba membaca berita yang masuk.
Lusiana baru saja meninggal dunia. Tutup usia menjelang ulang tahun ke-61.
Besok akan dimakamkan. Kalau sempat, hadirlah.
Lusiana seorang sekretaris eksekutif yang hidup mati demi kariernya.
Ia lupa kapan ia pernah disentuh rasa cinta, sampai cinta itu pun
ditampiknya. Menjelang usia renta, ia menyaksikan ayah dan ibunya satu
demi satu meninggalkan hidup yang fana. Juga abangnya, pergi mendadak
entah menderita penyakit apa. Karier tidak meninggalkan bekas. Tidak ada
ahli waris. Kawan-kawan meratapinya, dan melepasnya dalam kesunyian
hati.
Hening di atas nisannya. Burung pun enggan hinggap dekat pohon yang menaungi makamnya.
Tidak biasa aku berlibur dengan keluarga. Kepergian ini hanyalah
karena anak yang hidup di tengah keramaian Jakarta, yang berangkat subuh
dan pulang menjelang tengah malam dari kantornya. Ada kejenuhan dalam
tugasnya yang rutin, membuat ia mengambil keputusan libur ke Bali
bersama orang tua. Aku yang terbiasa masuk kantor dan pulang kantor
selama puluhan tahun, kerapkali lupa cuti karena tidak tahu apa yang
harus dilakukan waktu cuti. Dan kini, aku duduk di tepi laut Hindia,
menyaksikan ombak memukul-mukul pantai, dan sebelum senja turun ke tepi
laut, matahari memerah dan bundar, cahaya keindahan Tuhan, sangat
mengesankan ratusan orang dari pelbagai bangsa terpaku di atas
batu-batu.
Tiba-tiba ada dering di HP istriku, sebuah SMS dengan tulisan:
Tan, Ibu Maria baru saja meninggal dunia. Kasihan dia. Di dalam Kitab Sucinya banyak mata uang asing.
Ibu Maria menyusul suaminya yang sudah bertahun-tahun meninggal
dunia, dalam usianya yang ke-72. Ia pekerja keras sepeninggal suaminya
yang dipensiunkan sebelum waktunya. Suaminya meninggal dalam usia ke-67
saat anaknya berpergian ke luar negeri dan tidak hadir ketika
penguburannya.
Ibu Maria meninggal mendadak.
***
Aku baru saja menerima telepon dari kakakku yang sulung, dalam
usianya yang ke-78. Kudengar suaranya gembira, walaupun aku tahu
sakitnya tidak kunjung sembuh. Kalimat terakhirnya dalam telepon itu
berbunyi: Tetaplah tabah, Dik. Kamu dan anak-anakmu, semua anak cucuku
dan buyut, supaya mereka tetap sehat….
Dan tadi pagi, aku teringat. Usia menjelang ke-70, walaupun
sebenarnya belum sampai ke situ, aku bertanya-tanya kepada diriku, jejak
mana yang sudah kutoreh dalam hidup ini, dan jejak-jejak apakah yang
bermakna sebelum tiba giliranku?
Aku tepekur.
Hening di ujung senja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar